Minggu, September 27, 2009

Gelombang Arus Balik dan Magnet Kota

Berita arus mudik berangsur berlalu dari pemandangan kita. Kini, giliran gelombang arus balik yang menyita perhatian lewat cerita dan berita. Laporan pandangan mata seluruh media baik cetak, audio hingga audio visual, beralih tema. Didominasi berita dan potret dari berbagai penjuru lokasi, mulai dari daerah dimana arus balik bermula, sepanjang rute jalan yang dilalui, hingga kota tujuan yang menjadi ujung perjalanan gelombang besar manusia dari kampung halaman menuju kota yang katanya menjanjikan harapan. Pemandangannya sebenarnya serupa dengan peristiwa arus mudik, yang berbeda adalah tujuannya dan jumlah pesertanya. Tujuannya sekarang adalah kota, pusat harapan dan angan angan. Jumlah pesertanya ? Tentu saja bertambah, seiring dengan semangat mengikuti jejak anggota keluarga atau kawan yang setiap pulang kampung terkesan bertabur kesuksesan.

Arus balik tak ubahnya gelombang pasang bagi kota. Kota dalam benak dan fikiran sebagian besar orang desa telah dipandang sebagai ''surga'' yang menawarkan beragam keberhasilan. Kota telah terlalu dalam dipersepsikan sebagai lumbung uang, pekerjaan, pendidikan, dan karir. Kota dengan segala pencitraannya merupakan magnet yang membius kesadaran masyarakat desa untuk berebut mendekat kepadanya. Gemerlapnya kota telah membuat sebagian besar masyarakat desa silau sehingga memicu hasrat mereka berburu kesuksesan di kota. Daya tarik kota yang membius dan menyilaukan kesadaran itu membuat orang melalaikan konsekuensi bahwa tantangan hidup di kota tidaklah ringan. Taruhannya bukan sekedar harta atau materi, tetapi juga kehormatan, bahkan nyawa. Kenyataan telah banyak menunjukkan, begitu banyak orang yang hidupnya justru terhempas, limbung tak kuasa menahan kerasnya tuntutan kehidupan kota.

Tapi tetap saja kota akhirnya semakin sesak oleh orang-orang yang berjudi mengadu nasib di dalamnya. Dan ini tergambar dari mobilitas masyarakat dari desa ke kota yang terus menerus mengalami peningkatan, akibatnya problem perkotaan semakin meningkat. Kota dituntut menyediakan ruang (space) seluas-luasnya untuk menampung mereka. Padahal, kultur dan karakter kehidupan kota tidak memungkinkan untuk itu. Di sinilah kemudian terjadi ketimpangan sosial yang berpotensi mengubah karakter individu yang tadinya santun bersahaja menjadi cenderung emosional, akrab dengan kekerasan, dan sering terjebak pada tindakan menghalalkan segala cara.

Menurut saya, fenomena ini sangat layak menuntut perhatian dan pemikiran yang serius dari para pengelola Negara ini untuk terus berupaya merealisasikan program program yang handal, yang menyentuh akar permasalahan, sehingga mampu membatasi arus mobilisasi masyarakat desa ini. Akar permasalahannya sebenarnya sudah lama terdefinisi. masyarakat pedesaan mendambakan peningkatan taraf hidup dan perbaikan kesejahteraan yang mana mereka tidak bisa melihat peluang untuk bisa mewujudkan hal tersebut di desa.
Beberapa riset menunjukkan, serendah-rendahnya jenis pekerjaan yang dilakukan seorang migran di kota, senantiasa memperoleh pendapatan yang lebih baik dibandingkan sewaktu berada di desa. Ini misalnya tercermin dari pemungut puntung rokok, pengumpul kertas, dan tukang semir sepatu di Jakarta yang memperlihatkan kenaikan pendapatan sebesar dua hingga tiga kali lipat dibandingkan penghasilannya di desa. Dengan adanya kesenjangan upah itu maka pilihan untuk berurbanisasi adalah hal yang rasional secara ekonomis

Gelombang Arus balik adalah gambaran perjuangan mewujudkan harapan, meraih keberhasilan, mengatasi segala rintangan dan kerasnya tantangan untuk menaklukkan kota besar. Bagaimana seandainya jika semangat juang itu difasilitasi sehingga menjelma menjadi energi yang dahsyat dan mampu mencerahkan desa, membangunkan yang selama ini tertidur, serta sanggup mengubah kondisi tanah kelahiran menjadi tanah harapan baru.

Tidak seperti saat ini dimana sebagian besar sumber daya dari putra daerah/desa yang potensial tersedot ke kota, berjudi dengan nasib meninggalkan desanya yang kembali terkulai tak berdaya. Desa hanya sesekali terbangun, dihentak arus mudik saat Lebaran setahun sekali. Ini sudah berlangsung bertahun tahun. Apakah kondisi seperti ini patut terus kita langgengkan…??

5 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. hum dari sisi positifnya.. kalo tiada mereka, kadang pernahkah kita berpikir, ada ga yg mo mungut puntung roko lagi, ngumpulin plastik,...

    yeah..rejeki emang Alloh Maha Mengatur, tapi kita emang kudu jaga bersama..

    salam kenal, Pak

    BalasHapus
  3. semoga pihak terkait bisa mengatasinya...

    BalasHapus
  4. Yang sulit emang ngrubah sistem pembangunannya iyaaaa

    BalasHapus
  5. wah semoga pengaturan lalu lintas bisa bersabar ja dan bisa mengatur lalu lantasnya,,,, salam kenal aja mas dari gua,,,

    BalasHapus

Komentar Sahabat.. (But, spam is not friendly)